Rabu, 25 Oktober 2017

Kemana Dirimu Wong mBatu?

Pagi ini adalah hari yang mengesalkan menurut saya. Rencana saya untuk kembali menekuni angka-angka statistik buyar seketika. Penyebabnya adalah postingan penebangan kayu-kayu tua, di sekitaran Dinosaurs Park yang sepertinya akan dikebut dalam waktu dekat. Walikota masuk penjara, pohon tua dihabiskan. Eits, apakah keadaannya akan berbeda jika Bapak-ne wong mBatu ada di tengah-tengah kita? Tidak diciduk KPK? Entahlah, hanya Tuhan Semesta Alam yang tau sejatinya.

Bukan, masalah Bapak kena cekal KPK atau penebangan kayu bersejarah yang bikin saya eneg dan risih, sampe angka-angka statistik buyar entah kemana. Hal yang membuat saya kesal adalah, mengapa baru sekarang bicara? Persis seperti saya yang nyalinya sekecil semut. Semut aja berani menggigit, kalau tempatnya kepanasan. Lah, saya pura-pura nyaman asal duwit ada di tangan.

Hari ini, setidaknya ada dua berita yang intinya adalah tentang kerusakan kota Batu. Satunya berbicara penebangan pohon-pohon dan lainnya tentang petani yang kehilangan lahannya. Puh, nyesek bukan? Padahal di baliho besar, jalan masuk Kota Batu yang membanggakan, Bapak kita berfotogenik dengan para petani yang mesem ngguyu. Jangan-jangan mereka mesem ngguyu setelah tanahnya dibeli Paman Gober (Sebutan untuk penguasa sejati Kota Batu yang dibahas dalam berita penebangan pohon). Atau mungkin anaknya, baru saja diangkat jadi tenaga kontrak oleh Bapak kita.

Tunggu, Bapak kita bersih kok, nyatanya perpunglian untuk masuk jadi PNS makin berkurang. Statistiknya, saya tidak bertanggung jawab, tidak ada hitungan pasti dan jelas. Semua ahli statistik sibuk menghitung pendapatan Kota Batu yang naik signifikan beberapa periode ini.

Lah, setelah Emak kita berada di posisi yang kurang menguntungkan, sebab Bapak sedang dibawa KPK, barulah kita anaknya berulah. Ribut pohon ditebang, petani kehabisan lahan. Kalau boleh saya bilang, itu mah berita lama. Anak-anak muda yang kerjaannya nongkrong, sebagian kuliah sebagian pengamen dan sebagian lainnya tidak jelas, sudah membicarakan hal ini sejak lama. Sejak Emak belum mencalonkan diri jadi pengganti Bapak. Lalu kemana para orang yang membuat berita pagi ini?

Masih dalam perenungan? Pertapaan atau mungkin sedang bersenang-senang? Atau sedang mengumpulkan amunisi serangan? Entahlah. Benar saya menuliskan ini dengan kesal. Kemana mereka semua?

Tercatat dalam memoar saya yang tidak begitu tahan lama, hanya warga Nggemulo yang tegas berkata tidak, pada pembangunan hotel yang akan merangsek lahan mereka. Saat mereka demo di depan kantor Bapak, kita wong mBatu lainnya pura-pura tidak tahu. Kalau kebetulan lewat depan rumah Bapak, hanya nuwun sewu pada para pendemo. Tidak memberikan dukungan, walau hanya sekedar turut hadir. Saya pun demikian, hanya numpang lewat. Kemudian hati saya jadi kebat-kebit. Bagaimana mereka (warga Nggemulo) memperjuangan apa yang menjadi hak semua orang mBatu. Setelah Nggemulo selesai dengan kekalahan Bapak, tidak ada lagi gerakan inisiatif untuk menyelamatkan alam mBatu. Semua kembali sibuk rebut berkah dari Paman Gober.

Kemana kamu hai orang mBatu? Ah, saya berulang kali menanyakan kata-kata itu dalam hati. Hingga hari ini.

Entahlah, saya pun bagian dari kerusakan yang tidak pernah bertindak. Semoga tulisan ini menjadi pengingat dan penyemangat, bagi kawan-kawan sesam wong mBatu!